Ads 468x60px

Rabu, 29 Mei 2013

Makalah Viktimologi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
       Pada era modern ini perkembangan teknologi sangat pesat, khusus dalam bidang teknologi informasi dan telekomunikasi kini telah lahir yang namanya internet, sebuah teknologi yang saat ini sangat digemari oleh seluruh masyarakat modern di seluruh penjuru dunia, karena dengan menggunakan internet para penggunanya sekiranya dapat menjelajahi dunia hanya dengan perangkat elektronik yang tersambung dengan internet dalam hitungan menit bahkan detik, internet saat ini seringkali dijadikan sebuah akses untuk penggunanya  melakukan kegiatan komunikasi, misalnya ngobrol (chatting), panggilan video (video call), dsb. tidak hanya sebagai alat komunikasi internet juga dapat berfungsi khususnya untuk pencari informasi bahkan internet dikatakan sebagai perpustakaan digital dunia, karena dengan menggunakan internet pengguna yang sedang mencari informasi dapat dengan mudah mendapatkan informasi yang dicarinya hanya dengan mengetikan sebuah kata kunci di sebuah mesin pencarian seperti mozzila, google chrom, dan internet explorer. Tidak hanya itu akhir-akhir ini juga internet dijadikan sebagai media bisnis, mulai dari periklanan sampai virtual shop atau biasa disebut dengan toko online
       Internet yang pada pada mulanya merupakan sebuah teknologi yang dirancang khusus oleh pemerintah Negara Amerika untuk mengamankan dokumen penting Negara pada saat terjadi perang dunia ke II karena ditakutkan akan hilang atau musnah ketika terjadi peperangan dengan musuh, maka dari itu diciptakanlah internet untuk melindungi dokumen tersebut.
       Pengertian internet itu sendiri yang penulis kutif dari wikipediaInternet (kependekan dari interconnection-networking) adalah seluruh jaringan komputer yang saling terhubung menggunakan standar sistem global Transmission Control Protocol/Internet Protocol Suite (TCP/IP) sebagai protokol pertukaran paket (packet switching communication protocol) untuk melayani miliaran pengguna di seluruh dunia ”.[1]
       Seiring dengan berkembangnya waktu, internet yang pada mulanya digunakan untuk keperluan militer kini telah beralih fungsi, dengan beralih fungsinya internet telah memberikan dampak positif bagi penggunanya sebagaimana fungsi dari internet yang telah penulis kemukakan diatas, namun perlu diketahui internet tidak hanya memberikan dampak positif, namun juga memiliki dampak negatif, seperti kejahatan cyber crime contohnya dengan merusak perangkat komputer korban, mengambil data korban melalui jaringan internet, tindak pidana pornografi atau istilah yang biasa disebut cyberporn, tindak pidana penipuan, dsb.
       Khusus untuk tindak pidana penipuan, sebagaimana topik yang penulis kaji dalam masalah ini, sebuah data menunjukan bahwa mengenai penipuan di internet termasuk penipuan toko online, data yang dimiliki oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya terkait kejahatan tersebut terus meningkat tiap tahunnya kurang lebih sekitar 600 kasus per tahun. Data mengenai jumlah laporan per hari juga semakin meningkat. Pada tahun 2009 sampai pertengahan tahun 2010, hanya ada sekitar 1-2 laporan per hari. Pada pertengahan tahun 2010 sampai pertengahan tahun 2012, ada sekitar 2-3 laporan per hari. Adapun pada pertengahan tahun 2012 sampai sekarang, jumlah laporan per hari mencapai 3-4 laporan.[2]
       Terkait dengan penipuan di internet atau penipuan secara online, yang penulis kutif dari Endah Dewi Nawangsari seorang kandidat doktor cyber law di Universitas Padjajaran (Unpad) di sebuah media massa digital menyatakan bahwa mayoritas yang menjadi korban dari penipuan online adalah perempuan, karena shopping online atau belanja online sangat digemari ibu-ibu.[3]
       Melihat fenomena sebagaimana penulis kemukakan di atas, penulis tertarik membuat makalah yang berjudul TINJAUAN VIKTIMOLOGI DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN TRANSAKSI JUAL BELI DI INTERNET. Penulisan makalah ini disusun guna melengkapi tugas dari mata kuliah Viktimologi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana peranan korban dalam terjadinya tindak pidana penipuan transaksi jual beli di internet ?
2.      Bagaimana kebijakan hukum terkait dengan tindak pidana penipuan transaksi jual beli di internet menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia ?

C.    Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui bagaimana peranan korban dalam terjadinya tindak pidana penipuan transaksi jual beli di internet
2.      Untuk mengetahui kebijakan hukum terkait dengan tindak pidana penipuan transaksi jual beli di internet menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peranan Korban dalam Terjadinya Tindak Pidana Penipuan Transaksi Jual Beli di Internet
       Berbicara mengenai peranan korban, maka mau tidak mau kita harus memperhitungkan peranan korban dalam timbulnya suatu kejahatan, korban memiliki peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Perlu diketahui bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada korban kejahatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa si korban mempunyai peranan penting dan tanggung jawab fungsional dalam terjadinya kejahatan.
       Terkait dengan masalah korban, pertama kali perhatian terhadap korban diwujudkan dalam symposium internasional mengenai viktimologi di Yerrusalem pada tahun 1973. Symposium yang kedua diadakan di Boston pada tahun 1976. Viktimologi dianggap penting karena dapat membantu menambah kecerahan dalam menghadapi penjahat dan korbannya. Viktimologi boleh dikatakan bahwa suatu suatu cabang ilmu pengetahuan yang tugasnya adalah meneliti atau mempelajari si korban secara biologis, sosiologis dan sosial.
       Jika ingin mengetahui secara spesifik terkait si korban, maka harus diperhatikan terlebih dahulu semua hubungan antara si korban dengan pelaku dalam timbulnya suatu kejahatan atau tindak pidana.
       Partisipasi atau ikut sertanya si korban dalam suatu penyimpangan dengan tujuan untuk mencapai sesuatu demi kepentingan diri sendiri atau orang lain dapat menyebabkan diri sendiri menjadi korban, misalnya :
1)      Ingin mendapatkan barang yang baik dengan harga yang sangat relatif rendah, ternyata barang yang dibeli adalah barang palsu. Jadi korban penipuan
2)      Ikut dalam penyelundupan kerena ingin cepat berhasil mendapatkan uang, kemudian tidak berhasil dan menjadi obyek pemerasan petugas. Jadi obyek pemerasan
3)      Mengadakan perkenalan dengan orang yang tidak jelas, akibatnya menjadi korban pemerkosaan
4)      Menjadi korban karena kesan tertentu sebagai orang berada, berkedudukan, berkuasa, tidak mampu fisik, tidak tahu jalan dan lain-lain sebagainya sehingga mendorong orang menjadikan sebagai korban.
       Dengan demikian jelaslah bahwa korban juga mempunyai pernan penting dalam timbulnya suatu kejahatan. Korban ikut bertanggungjawab atas terjadinya seorang pembuat korban. Korban mempunyai tenggungjawab fungsional.
       Peran korban dalam mempengaruhi terjadinya kejahatan dapat berupa patisipasi aktif maupun pasif, dapat berperan dalam keadaan sadar maupun tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung, semuanya bergantung pada situasi dan kondisi pada saat kejahatan tersebut terjadi.
       Situasi dan kondisi pihak korban dapat mendorong pelaku untuk melakukan suatu kejahatan terhadap korban. Situasi tersebut dapat berupa :
1)      Kelemahan fisik dan mental pihak korban,yakni mereka yang berusia tua atau kanak-kanak, cacat tubuh atau jiwa, dan wanita yang dapat dimanfaatkan karena tidak berdaya.
2)      Situasi sosial pihak korban, seperti mereka yang tidak berpendidikan, bodoh, golongan lemah ekonomi, politik hukum serta tidak mempunyai perlindngan dalam masyarakat.
       Berkaitan dengan masalah korban, Stephen Scrafer mengemukakan beberapa tipe korban kejahatan dan mengkaji tingkat kesalahan korban yang pada prinsipnya terdapat 4 (empat) tipe korban yakni :
1)      Orang yang tidak mempunyai kesalahan apapun tetapi tetap menjadi korban. Dalam hal ini kesalah ada pada pihak pelaku.
2)      Korban secara sadar atau tidak sadar melakukan suatu perbuatan yang mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan, sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
3)      Mereka secara biologis, potensial menjadi korban seperti anak-anak, orang tua, cacat fisik/mental, golongan minoritas dan sebagainya. Korban dalam hal ini tidak dapat dipersalahkan, pelaku dan masyarakatlah yang bertanggungjawab.
4)      Korban karean dia sendiri adalah pelaku. Hal ini dapat terjadi pada kejahatan tanpa korban seperti pelacuran, ziah, judi, narkoba dan sebagainya. Yang bersalah dalam hal ini adalah si korban.
       Mengenai peranan korban dalam terjadinya tindak pidana penipuan transaksi jual beli di internet. Si korban memiliki peranan yang yang cukup besar, yaitu dengan secara tidak sadar menjadikan dirinya diviktimisasi oleh pelaku, sehingga menjadikan si korban menjadi korban atas kejahatan yang dilakukan pelaku. Misalnya dalam hal ini memberikan kepercayaan terlalu berlebih kepada pelaku (mempercayai pelaku) padahal pelaku tersebut merupakan orang baru dan si korban belum mengetahui secara jelas mengenai identitas pelaku. Dengan memberikan kepercayaan berlebih tersebut maka si korban akan dengan mudah dijadikan oleh pelaku sebgai korbannya.
       Apabila kita melihat proses terjadinya suatu kejahatan dalam hal ini penipuan transaksi jual beli di internet, biasanya si pelaku menawarkan barang dengan harga yang semurah-murahnya bahkan sampai selisih 50% lebih dari harga pasaran yang sebenarnya supaya manarik calon pembeli sekaligus korban, setelah si korban tertarik untuk membeli barang yang ditawarkan, selanjutnya pelaku meminta si korban untuk mentransfer sejumlah uang sesuai kesepakatan dari harga barang yang hendak di beli si korban tersebut. Disini peranan korban terlihat dalam kejahatan yang dilakuan oleh pelaku, karena dengan mudahnya mempercayai pelaku dan akibat ketidak hati-hatian dari si korban sehingga menjadikan si korban di viktimisasi oleh pelaku. padahal apabila dipikir secara logika perihal harga yang ditawarkan pelaku sudah jelas bahwa hal tersebut seharusnya dapat dicurigai.

B.     Kebijakan Hukum Terkait dengan Tindak Pidana Penipuan Transaksi Jual Beli di Internet
       Penipuan di internet atau bahasa lainnya penipuan secara online pada prinsipnya sama dengan penipuan konvensional, yang membedakan dari keduanya hanyalah sarana perbuatannya yakni menggunakan sistem elektronik seperti komputer, internet dan perangkat telekomunikasi lainnya. sehingga secara hukum penipuan di internet atau penipuan secara online dapat diperlakukan sama dengan delik konvensional.
       Mengenai kebijakan hukum terkait dengan tindak pidana penipuan transaksi jual beli di internet, khususnya dalam hal ini kebijakan yang dapat diterapkan terhadap pelaku, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia terkait dalam tindak pidana ini, masing-masing mangaturnya dalam satu pasal.
       Dalam KUHP pasal yang secara khusus mengatur tindak pidana penipuan terdapat dalam Pasal 378 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut :
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."

       Sedangkan dalam UU ITE, pasal yang mengatur terkait dengan tindak pidana penipuan khususnya di internet, di atur dalam Pasal 28 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

       Ancaman pidana yang dapat dikenakan terhadap pelaku adalah pidana penjaran paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar sebagai mana disebutkan dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE, perihal ketentuan pidana dari pasal 28 ayat (1) UU ITE.
       Perlu diketahui sebelumnya, walaupun isi dari Pasal 28 ayat (1) tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan, namun terkait dengan adanya unsur sebagaimana disebutkan dalam pasal tersebut yaitu “kerugian konsumen dalam transaksi elektronik”,  maka pasal tersebut dapat digunakan terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana penipuan di internet.
       Terkait adanya 2 (dua) aturan mengenai tindak pidana penipuan di internet atau penipuan secara online yakni Pasal 378 KUHP dan Pasal 27 ayat (1) UU ITE, mengenai kebijakan yang dapat diterapkan kepada pelaku sepenuhnya dikembalikan kepada penyidik untuk menentukan Pasal mana yang akan dikenakan terhadap pelaku, disini dibutuhkan kejelian dari pihak penyidik yang menanganiya. Namun tidak menutup kemungkinan juga pihak penyidik dapat menggunakan kedua pasal tersebut secara bersamaan atau istilah yang biasa disebut pasal berlapis, apabila memang unsur-unsur dari kedua pasal tersebut terpenuhi.
 
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Peranan korban dalam terjadinya tindak pidana penipuan dalam transaksi di internet atau biasa disebut transaksi online memiliki peranan yang cukup besar, karena terlalu percayanya si korban atas apa yang ditawarkan pelaku, dan kurang kehati-hatinya mengakibatkan si korban dengan mudah di viktimisasi atau dijadikan korban oleh pelaku.
2.      Kebijakan hukum atas tindak pidana penipuan transaksi di internet atau transaksi online khsususnya dalam hal ini kebijakan hukum yang dapat diterapkan pada pelaku terdapat 2 (dua) pasal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia, yaitu Pasal 378 KUHP, dan Pasal 27 ayat (1) UU ITE

B.     Saran
       Sampai saat ini pemerintah belum bisa melindungi masyarakatnya secara maksimal khususnya dalam hal ini melindungi masyarakat atas tindak pidana penipuan transaksi di internet, seharusnya pemerintah dengan berbagai cara berusaha melindungi masyarakatnya dari tindak pidana tersebut, seperti melakukan sosialisai atau himbauan kepada masyarakat melalui berbagai media informasi yang dapat diketahui oleh seluruh masyarakat indonesia. Dengan adanya sosialisai atau himbauan pemerintah, memungkinkan dapat meminimalisir bahkan mencegah terjadinya tindak pidana penipuan transaksi di internet.

DAFTAR PUSTAKA

Google.com
Laporan Kasus Meningkat, Sehari Terjadi Dua Kejahatan “Cyber”, tersedia
dihttp://megapolitan.kompas.com/read/2013/04/15/19164827/Laporan.Kasus.Meningkat.Sehari.Terjadi.Dua.Kejahatan.Cyber, diakses pada tanggal 02
 Mei 2013.
Pengertian internet, tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Internet, diakses pada
tanggal 02 mei 2013.
Wanita Kerap Jadi Korban Penipuan Online, tersedia di http://www.depok
terkini.co/index.php/pendidikan/kabar-ilmu/disdik/924-wanita-kerap-jadi-korban-
penipuan-online, diakses pada tanggal 02 Mei 2013



[1] Pengertian internet, tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Internet, diakses pada tanggal 02
mei 2013.
[2] Laporan Kasus Meningkat, Sehari Terjadi Dua Kejahatan “Cyber”, tersedia di http://megapolitan.kompas.com/read/2013/04/15/19164827/Laporan.Kasus.Meningkat.Sehari.Terjadi.Dua.Kejahatan.Cyber, diakses pada tanggal 02 Mei 
2013.
[3] Wanita Kerap Jadi Korban Penipuan Online, tersedia di http://www.depokterkini.co
/index.php/pendidikan/kabar-ilmu/disdik/924-wanita-kerap-jadi-korban-penipuan-online, diakses 
pada tanggal 02 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Daftar Blog Saya